Kedawung, Kebumenpost.com– Pabrik genteng milik H. Slamet di Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen, kini menghadapi tantangan serius di tengah lesunya industri genteng tradisional. Setelah puluhan tahun menjadi tulang punggung ekonomi warga sekitar, geliat produksi mulai melemah akibat minimnya permintaan dan belum adanya terobosan baru dalam pengembangan usaha.
H. Slamet, pelaku industri rumahan yang sudah berkecimpung lebih dari 30 tahun, mengungkapkan bahwa menurunnya minat masyarakat terhadap genteng tanah liat menjadi pukulan berat.
“Sekarang orang-orang lebih banyak pakai genteng metal atau galvalum. Sementara kami masih bertahan dengan cara tradisional,” ujarnya.
Menurutnya, selain tren material atap yang berubah, tidak adanya dukungan dari pihak terkait untuk pelatihan, pembaruan alat produksi, hingga akses pasar yang lebih luas, membuat usaha genteng rakyat seperti miliknya semakin tertinggal.
“Kami butuh inovasi. Misalnya pelatihan desain atau teknologi pembakaran yang lebih efisien. Tapi kami tidak bisa bergerak sendiri. Harapan kami, pemerintah daerah bisa turun tangan, agar usaha kecil seperti ini tidak punah,” tambahnya.
Pabrik genteng H. Slamet sendiri pernah menjadi lapangan kerja bagi puluhan warga desa, namun kini hanya mampu mempertahankan beberapa tenaga kerja karena keterbatasan biaya dan produksi yang tidak stabil.
Kondisi ini menjadi cerminan banyaknya usaha mikro kecil menengah (UMKM) tradisional yang terseok karena kurangnya pembinaan dan adaptasi teknologi. Pemerintah Kabupaten Kebumen diharapkan dapat lebih aktif mendorong program revitalisasi industri tradisional, termasuk memberikan akses bantuan permodalan, pelatihan, hingga penciptaan pasar baru melalui platform digital maupun kemitraan.
Warga setempat juga menyayangkan jika pabrik ini harus gulung tikar.
“Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi juga warisan lokal yang patut dijaga,” kata Slamet, salah satu karyawan lama di pabrik tersebut.
Pabrik genteng H. Slamet menanti harapan baru, agar tetap hidup di tengah perubahan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bagian dari identitas budaya Kebumen. (KP/Farissa Adriningtyas Kurnia)